Memberi Syafa-at orang lain, memperantarai dalam memperoleh manfaat dan menolak bahaya

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

((كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ طَالِبُ حَاجَةٍ أَقْبَلَ عَلَى جُلَسَائِهِ فَقَالَ: اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِى اللهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ مَا أَحَبَّ))

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika didatangi seorang yang minta kebutuhan, beliau menghadap kepada para shahabat yang sedang duduk bersamanya, kemudian beliau berkata: “Berilah syafaat, kalian akan diberi pahala. Dan Allah menentukan melalui lisan Nabi-Nya apa yang Dia sukai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[1]

Dalam sebuah riwayat:

((مَا شَاءَ))

“Apa yang Dia kehendaki.”

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang kisah Barirah dan suaminya. Dia berkata:

قَالَ لَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ((لَوْ رَاجَعْتِهِ)) قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: ((إِنَّمَا أَشْفَعُ)) قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيْهِ.

Nabi berkata kepada Barirah: “Kalau engkau mau rujuk dengannya (bekas suami)[2].” Barirah berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan aku?” Beliau menjawab: “Tidak aku hanya memberi syafaat.” Dia berkata: “Aku tidak butuh kepada dirinya.”[3]

Syafaat adalah memperantarai orang lain dalam memperoleh manfaat dan menolak bahaya.

Contoh yang pertama: Engkau memperantarai seseorang di sisi orang lain agar dia membantu orang tadi dalam satu urusan.

Contoh yang kedua: Engkau memperantarai seseorang di sisi orang lain untuk memaafkannya dan memaafkan dari kezhalimannya, sehingga terelakkan bahaya darinya.

Dan contoh hal itu di akhirat, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi syafaat pada orang-orang yang berada di padang mahsyar, agar segera diputuskan antara mereka, ketika mereka ditimpa kesempitan dan kesusahan yang tidak bisa mereka tanggung. Syafaat ini adalah dalam menolak satu bahaya.

Dan misalnya dalam memperoleh manfaat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi syafaat pada ahlul jannah untuk masuk surga. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.[4]

Yang dimaksud dengan syafaat dalam ucapan penulis adalah syafaat di dunia, yaitu seseorang memberi syafaat untuk orang lain di sisi seseorang yang lain, untuk memperantarainya dalam memperoleh manfaat untuknya dan menolak bahaya darinya.

Syafaat itu ada beberapa macam:

Pertama: Syafaat yang diharamkan, tidak boleh, yaitu memberi syafaat untuk seseorang yang wajib ditegakkan hukum had atas dia, setelah (masalahnya) sampai kepada imam (penguasa). Ini adalah syafaat yang diharamkan, tidak boleh. Misalnya: seseorang yang wajib ditegakkan hukum had potong tangan atasnya karena mencuri. Ketika masalah pencurian itu telah sampai kepada imam (penguasa) atau penggantinya, seseorang ingin untuk memberi syafaat untuk pencuri ini agar tangannya tidak dipotong. Ini diharamkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkarinya dengan sangat keras.

Yang demikian itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk dipotong tangan seorang wanita Al-Makhzumiyyah, seorang wanita dari Bani Makhzum yang termasuk salah satu kabilah bangsa Arab yang paling mulia. Wanita ini meminjam sesuatu kemudian dia mengingkarinya, yaitu dia meminjamnya untuk mengambil manfaat dengannya, kemudian setelah itu dia mengingkari bahwa dia telah meminjam sesuatu. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memotong tangannya, sehingga bangsa Quraisy menjadi bersedih karenanya. Mereka berkata: “Seorang wanita dari Bani Makhzum dipotong tangannya, ini adalah sebuah aib yang sangat tercela. Siapakah yang mau memberi syafaat untuk kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian mereka berpandangan bahwa orang yang paling dekat untuk hal itu adalah Usamah bin Zaid bin Haritsah.

Dan Usamah bin Zaid adalah putra maula (bekas budak) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Zaid bin Haritsah adalah seorang budak yang dihadiahkan Sayyidah Khadijah radhiyallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau membebaskannya dan beliau mencintai dia dan anaknya, Usamah. Kemudian Usamah pergi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi syafaat untuk wanita ini agar tangannya tidak dipotong. Beliau berkata:

((أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ))

“Apakah engkau memberi syafaat dalam masalah salah satu hukum had Allah?” Beliau mengucapkan hal itu sebagai pengingkaran atas orang itu.

Kemudian beliau bangkit menceramahi manusia:

((أَيُّهَا النَاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ -يَعْنِي أَقْسَمُ بِاللهِ- لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا))

“Wahai manusia, hanyalah yang membinasakan orang-orang sebelum kalian bahwa mereka jika yang mencuri adalah orang mulia di antara mereka, mereka tidak menghukumnya. Jika yang mencuri adalah orang yang lemah di antara mereka, mereka menegakkan hukum had atasnya. Demi Allah -yaitu aku bersumpah dengan Allah-, kalau Fathimah bintu Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya.”[5]

Wanita makhzumiyyah ini berada di bawah Fathimah dari sisi kemuliaan dan nasabnya. Namun bersamaan dengan hal itu, beliau bersabda: “kalau Fathimah bintu Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya,” untuk menutup satu pintu syafaat dan perantaraan dalam masalah hukum-hukum had jika telah sampai kepada imam (penguasa).

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

((مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُوْنَ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ فَقَدْ ضَادَّ اللهَ فِي أَمْرِهِ))

“Barangsiapa yang tak mau memberi syafaat selain dalam salah satu hukum had Allah, maka dia telah menyelisihi perintah-Nya.”[6]

((إِذَا بَلَغَتِ الحُدُوْدُ السُّلْطَانَ فَلَعَنَ اللهُ الشَّافِعَ وَالْمُشَفِّعَ))

“Jika hukum-hukum had sampai kepada penguasa, maka Allah melaknat orang yang memberi syafaat dan orang yang mengijinkan syafaat.”[7]

Ketika Shofwan bin Umayyah memakai selendangnya sebagai bantal di masjid. Kemudian datang seseorang mencurinya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memotong tangan si pencuri. Lihatlah apa yang dia curi? Hanya satu selendang. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar tangan pencuri itu dipotong. Shofwan bin Umayyah berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak menginginkan selendangku.” Maksudnya dia merasa kasihan dengan si pencuri ini dan memberi syafaat untuk dia agar tangannya tidak dipotong. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

((هَلاَّ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ))

“Kalaulah hal itu sebelum engkau bawa dia kepadaku.”[8]

Maksudnya: Kalau engkau memaafkannya sebelum engkau membawanya kepadaku, maka itu hakmu, namun jika hukum-hukum had telah sampai kepada penguasa, maka harus diterapkan dan diharamkan syafaat dalam hal itu.

Jenis kedua: jika dia memberi syafaat dalam sesuatu perkara yang diharamkan, seperti seseorang memberi syafaat yang melanggar hak saudaranya, yang telah diberitahu misalnya bahwa orang ini (yang meminta syafaatnya) ingin untuk melamar seorang wanita yang telah dilamar orang lain sebelumnya. Dan seorang wanita yang telah dilamar tidak boleh dilamar seseorang. Kemudian orang yang kedua datang kepada orang (yang diminta untuk memberi syafaat). Dia berkata: “Wahai fulan, aku ingin engkau memberi syafaat untukku di sisi orang tua wanita ini agar dia menikahkan puterinya denganku.” Padahal dia mengetahui bahwa wanita itu sudah dilamar. Maka di sini dia tidak boleh untuk memberi syafaat. Karena syafaat ini diharamkan.

Syafaat dalam perkara yang diharamkan merupakan ta’awun (tolong-menolong) dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Allah ta’ala telah berfirman:

{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ}

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2)

Termasuk dalam syafaat yang diharamkan adalah seseorang mendatangi orang lain kemudian berkata: “Aku ingin membeli rokok dari fulan, dan aku telah menawar dengan harga sekian. Namun dia tidak mau selain dengan harga sekian sekian yang lebih daripada yang aku tawarkan kepadanya. Aku ingin agar engkau mau memberi syafaat untukku di sisinya agar dia menjual rokok itu kepadaku dengan harga yang murah ini.” Maka di sini tidak boleh memberi syafaat, karena ini termasuk menolong atas perbuatan dosa dan pelanggaran.[9]

Jenis ketiga: syafaat dalam sesuatu yang mubah. Ini tidak apa-apa, dan seseorang akan mendapatkan pahala dalam perkara itu. Contohnya: seseorang datang kepada orang lain kemudian menawar darinya sebuah rumah, namun orang ini menjawabnya: “Ini sudah murah harganya.” Kemudian orang yang menawar pergi kepada orang ketiga, dia berkata: “Wahai fulan berilah syafaat untukku di sisi pemilik rumah itu, semoga dia mau menjualnya kepadaku.” Kemudian orang ketiga itu pergi dan memberi syafaat untuknya. Maka ini boleh, bahkan dia diberi pahala atas perbuatannya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika didatangi orang yang punya kebutuhan, beliau menoleh kepada para shahabatnya dan berkata:

((اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِى اللهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ مَا شَاءَ)) أَوْ ((مَا أَحَبَّ))

“Berilah syafaat, kalian akan diberi pahala. Dan Allah menentukan melalui lisan Nabi-Nya apa yang Dia kehendaki,” atau “apa yang Dia sukai.”

Di sini beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabatnya untuk memberi syafaat bagi orang yang punya kebutuhan tersebut.

Misal dari hal itu juga, kalau engkau mempunyai hak yang harus diperoleh dari seseorang dan engkau melihat jika engkau mengalah darinya demikian ini, kadang dia akan meremehkan engkau di masa yang akan datang dan dia akan melanggar kehormatanmu. Maka di sana tidak apa-apa engkau mengatakan pada sebagian orang -misalnya-: “Berilah syafaat untuk dia di sisiku.” Sampai engkau nampak bahwa engkau kuat dan engkau tidak penakut di depan orang itu dan diperoleh apa yang diinginkan.

Intinya bahwa syafaat pada selain perkara yang haram termasuk perbuatan ihsan (baik) kepada yang lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيْبٌ مِنْهَا}

“Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) darinya. ” (An-Nisa’: 85)


 

[1] Shahih. HR. Al-Bukhari 1432 dan Muslim 2627.

[2] Dalam sebuah riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah dan An-Nasai ada tambahan: “Dia adalah bapak dari anakmu.” (Pent)

[3] Shahih. HR. Al-Bukhari 5283.

[4] Shahih. HR. Muslim 296.

[5] Shahih. HR. Al-Bukhari 3733 dan Muslim 1688.

[6] Shahih. HR. Abu Dawud 3597, Ahmad (5/70). Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ 6169.

[7] HR. Malik dalam Al-Muwatha’ 29.

[8] Shahih. HR. Abu Dawud 4349, An-Nasai 4878, Ibnu Majah 2595, dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’ 2317.

[9] Karena merokok dalam Islam haram hukumnya, pent.

(Sumber: Makarimul Akhlaq oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah)

Tinggalkan komentar